Urbanisasi


Sudah terlalu lama tidak menulis. Hampir lupa rasa dan nikmatnya berkicau tanpa halangan di blog sendiri.

Hai, apa kabar? Ya semoga blog ini masih ada yang membaca haha… Ada atau tidak juga tidak masalah. Ku tetap senang menulis di sini. Sepuasnya.

Terakhir menulis adalah 2016. Sekarang hamper pertengahan 2018. Saya tidak main-main dalam hal malas menulis selama ini, hahaa… benar-benar malas. Dari beberapa judul cerita yang saya tulis, perubahan yang saya lakukan dan lalui cukup signifikan. Sudah berpindah bekerja dari Yogyakarta dan sekarang bersahabat dengan gedung-gedung tinggi dan jalanan macet di Jakarta.
Terakhir saya menceritakan kisah saya adalah saat masih bekerja di Harper Mangkubumi (Jogja). Pun itu hanya woro-woro tipis kalau saya punya lading baru. Begitu pula sekarang. Saya memutuskan bekerja di Jakarta. Iya, Jakarta. Kota yang selalu saya bilang anti untuk ditinggali, anti untuk tempat bekerja dan sebagainya. Alhasil, kemakan omongan sendiri. (btw, ini saya sembari mendengarkan Picture of You – Boyzone).

Bekerja di Jakarta bukan tanpa alasan. Kalau dulu sempat melamar pekerjaan di Jakarta beberapa kali dan diterima (alhamdulillah) tapi tidak diambil karena gak boleh sama Ibu hahahaa… kalau kemarin ini memang sengaja mencari. Bukan karena alasan sembarangan atau ingin membebaskan cerita dari Jogja, tapi karena memang akan menjalani cerita baru di Jakarta. Hanya ada satu alasan, saya akan menikah dengan orang yang tinggal, besar, dan bekerja di Jakarta. Oke, siap, berangkat.
Singkat cerita, saya menikah dengan Adit di 14 May 2016. Dia adalah teman bekerja (gak kerja bareng juga sih sebenarnya), tapi kami sama-sama satu group hotel saat itu. Kenal di Jogja (sekedar kenal doang karena saya sibuk mengurus event di hotel tempat saya bekerja). Baru berbulan-bulan setelah itu kami komunikasi dan saling bicara ini dan itu, tidak mau ini dan itu, dan sebagainya, sehingga muncul kata mufakat layaknya musyawarah.

Ngomong-ngomong masalah mufakat, sudah agak jarang dengar dan melihat ke-mufakatan indah di negeri ini. Tidak sedikit yang adu otot, jotos-jotosan, saling merasa benar dan terbaik. Lumayan jenuh dengan keadaan politik sekarang ya, mungkin dulu juga sih, cuma kalau dulu langsung di ‘dor’ hilang, sekarang banyak bertebaran di-mana-mana-hatiku-tak-senang.

Oke, kembali ke cerita utama. Lalu karena kami akan menikah di tanggal di atas, maka saya mencari pekerjaan di Jakarta dan alhamdulillah ditawari pekerjaan yang sebenarnya sudah menjadi impian saya hehe.. Lalu, jadilah saya berpindah ke Jakarta hingga sekarang. Awalnya sempat ada masa adaptasi dengan segala sesuatu yang ada di Jakarta. Satu hal kata suami saya yang berbeda tentang saya dulu dan sekarang, adalah : sekarang lebih gampang emosi. (HAHAHAHAHA) Ah tapi enggak juga. Paling emosiannya cuma waktu nyetir di jalan, selain itu mah baik-baik, lemah lembut sama seperti putri Keraton Jawa bagian mBantul.

Heum. Sekarang sudah hampir dua tahun pernikahan. Tentu ada lucu, bahagia, semangat, bete, sedih dan lain sebagainya dan itu adalah hal yang wajar terjadi di pernikahan, siapapun. Termasuk Andrew White dan istrinya yang terlihat ‘relationship goals’ di mata saya. Duile. Namun saya menikmatinya. Apapun itu dan masa apapun yang kami lewati hampir dua tahun ini. Dan semoga begitu seterusnya. Selamanya. Amin.

Oiya, di Jakarta ini, memang minim hiburan menurut saya. Lebih tepatnya, hiburan murah dan bahkan hiburan gratis. Jarang. Mau gratis tetap ada ongkos jalan dan jajan karena untuk menempuh suatu tempat perlu effort. Mau dekat, kalau macet tetep aje, yailah, abis waktu di jalan. Tapi, ya dinikmati aja. Selama masih ada mall, hidupku aman. HAHA. Bukan karena apa. Mall adalah salah satu hiburan praktis dan instan. Tak perlu selalu belanja. Yang penting adem, dingin, literally dingin ya,, jalan aja keliling mallnya, selain olah raga karena bisa menghasilnya seribu langkah di mall, bisa refresh mata (mata perempuan). Hanya kami yang perempuan yang mengerti kondisi ini, wahai para lelaki. Begitu.

Hidup di Jakarta ini, di luar dugaan saya sebelumnya. Selama hampir 26 tahun saya lahir, tumbuh, berkembang, mengembang ke samping dan seterusnya di Yogyakarta. Lalu tiba-tiba dalam waktu yang sangat cepat semuanya berubah. Harus mau berubah. Mau ke stasiun, gak bisa lagi satu jam sebelumya baru berangkat, tapi dua jam sebelumnya (tertolong karena masih tinggal di Tebet). Kalau mau trip via bandara Soekarno Hatta, harus 3 jam sebelum boarding (ingat sebelum boarding) berangkat dari rumah, dan seterusnya. Jakarta memang mengajarkan saya menjadi orang yang harus punya planning dan keras. Benar-benar-keras. WK.

Yang kubahagia lagi adalah. Perasaan damai dan memaafkan yang sudah terjadi. Yang paling benar sebenarnya adalah berdamai dan memaafkan diri sendiri. Sampai sekarang, perasaan dan proses itu masih berlangsung, tetapi, sudah sangat efek yang saya rasakan. Hidup jalani saja. Dengan sebisa mungkin. Gak usah aneh-aneh, karena efek aneh-aneh itu akan datang tanpa diduga. Biasa aja. Ikhlaskan apapun yang terjadi, yang didapat, yang dijalani. Bersyukur masih bisa hidup, menghirup udara walaupun tidak sesegar udara di Jogja. Tapi ya disyukuri saja semua proses ini. Apapun-itu. Yang dulu berlalu yasudah lah ya, biarkan saja berlalu. Dijadikan kenangan saja. Menyesal tidak perlu berkepanjangan, karena semua ada pelajaran yang bisa dijadikan landasan kekuatan hidup selanjutnya. Beberapa hubungan kurang baik sudah diperbaiki, saling memaafkan dan support. Dari yang gak follow jadi follow (edyan iki penting banget cah!) dan seterusnya. Dari proses ini, saya juga sangat bisa belajar, mana teman yang sebenarnya, mana yang katanya teman tapi senyatanya adalah orang luar. Mana orang yang tetap bersama saya dalam situasi sulit, membangkitkan semangat hidup, memberikan seruan untuk melanjutkan perjalanan, mendorong saya, menggandeng saya untuk berjalan lagi, dan mana yang terlihat baik tetapi di belakang ternyata bergunjing, menanyakan tentang saya tetapi tidak langsung ke saya, membuat asumsi yang seakan realita (menurut mereka), dan seterusnya.

Quality over quantity. 

Yang bersama saya hanya ya yang memang dari jatuh bangun saya mereka selalu ada. Ya keluarga, sahabat (yang bisa dihitung jari). Itu saja. Menyenangkan sekali. Berada di lingkungan full of love. Alhamdulillah. Saya pun berharap kamu berada di lingkungan yang baik, support dalam keadaan apapun. Banyak teman di media sosial tidak menjamin kehidupanmu baik. BHAIQUE.

Itu saja. Yang ingin saya bagikan sekarang. Oiya, hampir masuk ke bulan suci Ramadhan. Saya mohon maaf atas tutur kata, kesalahan dan apapun yang tidak berkenan di hati teman-teman. Sungguh tidak ada niatan dari diri saya, jika hal itu benar terjadi 😊 semoga di bulan Ramadhan, kita semua mendapatkan berkah, rahmat, dan bisa menjalani ibadahnya dengan sebaik-baiknya. Amin. See you.

Cheers.

Comments

Popular posts from this blog

Grafik Perasaan

Sapa Rinduku Untukmu

DISSENDIUM (Penjelasan ala Nikita Willy)