#Indonesia
Sudah tahu pasti, bahwa Indonesia Jaya Merdeka ini sedang diuji kekuatan integritas bangsanya lewat bencana alam di Wasior, Mentawai, dan Merapi. Sangat lucu dan naïf ketika saya beberapa kali mendengar di radio, membaca di twitter dan berita online, serta melihat wawancara di televisi, ketika ada beberapa orang yang dengan entengnya bicara bahwa bencana alam ini adalah dosa manusia. Manusia yang mana? mohon diperjelas. Dosa apa? sangat lucu ketika ada yang katanya alim ulama mengatakan bahwa bencana alam adalah dosa manusia. Sangat tidak bijak ketika sedang suasana yang seharusnya mengadakan pergerakan cepat untuk membantu saudara yang sedang tertimpa musibah, tetapi sibuk meratapi keadaan dan menyalahkan manusia. Anda bukan manusia?
Saya tidak tahu persis bagaimana bencana alam yang terjadi di Wasior dan Mentawai, maka saya akan lebih mengerucut pada Gunung Merapi. Sungguh luar biasa. Saya sendiri sangat takjub dengan kesigapan kawan-kawan non akademis, non-pemerintah, non-LSM yang saat itu juga terjadi bencana alam pada tanggal 26 Oktober 2010 pukul 17.sekian sekian. Di mana pemerintah? Di mana Sri Sultan? Di mana orang-orang yang melabeli diri mereka sebagai pejuang kemanusiaan? Nihil. Saya juga bukan orang pertama yang bergerak untuk memberikan bantuan. Saya saja dengar kabarnya telat, maklum, waktu itu saya sedang nonton RED, jadi saya gak buka twitter atau apapun yang berhubungan dengan ponsel saya. Setelah mendapat sms dari teman saya yang mengabarkan bahwa Merapi sudah ‘kembali’ beraktivitas baru saya kepikiran. Saya tidak punya dana lebih untuk membantu. Apa yang bisa saya lakukan? Saya bbm semua teman list bbm saya, beberapa saja yang merespon. Lainnya diam, tak apa, orang beda-beda. Saya sms juga beberapa teman saya tentang apa yang harus dilakukan secepatnya. Akhirnya ketemu jalan bahwa saya dan teman saya Wulan akan membelanjakan donasi dari beberapa teman kami yang sudah ikhlas dan tanggap keadaan. Singkat cerita, bantuan itu telah tersalurkan. Hari selanjutnya adalah saya mendapat kabar dari Oom saya bahwa saya dimintai bantuan untuk menyalurkan dana yang sudah dikirimnya lewat sebuah yayasan sosial di Jogja, dengan alasan yayasan itu minim akomodasi dan buta peta lokasi pengungsian. Oke, saya kembali semangat. Tapi lagi-lagi kalo yang semangat saya doing sama aja boong. Sama aja makan angin. Sampai detik ini saya menulis tulisan ini, saya tidak tahu dana 5 juta rupiah yang sudah dikumpulkan Oom saya yang katanya ditransfer ke yayasan tersebut bagaimana kabarnya. Kata si ibu yayasan sih nunggu kabar dari Jakarta. Hedeh…cakwe dobel lupa gak pake keju!!!!! Sabar ndan, begini rasanya sebagai motor, nunggu orang yang ngasih bensin dulu, br bisa cari jalan keluar. Saya masih mendapat update berita bahwa bantuan yang datang masih sangat kurang untuk korban Merapi dan juga di Wasior dan Mentawai. Bahkan sudah sehari ini beberapa televisi yang mengecap diri mereka sebagai televisi berita sama sekali tidak ada update berita tentang Wasior. Memang sudah pulih semua-kah? Saya rasa belum sih. Semua tenggelam dengan kejadian meninggalnya Mbah Maridjan. No offense sih, tapi maksud saya itu jadi sangat berlebihan jika harus menutupi kejadian yang sedang terjadi yakni masih banyak barak pengungsian yang tidak mendapat bantuan. 4 kardus mie instan untuk 800 pengungsi, masuk tivi gak tuh? Bukan saya tidak menghormati dan menghargai pengorbanan dan kesetiaan Mbah Maridjan untuk tetap hidup dan mati di Merapi karena sukma-nya (duh berarti aku? #ngaco) menginginkan ia di sana, tapi masih lebih banyak yang harus dilakukan, yakni fokus membantu.
Well, maaf saya kebanyakan ngomong, tapi yang saya omongkan memang benar-benar terjadi dan bukan sekedar gossip. Oh iya hampir lupa, ada satu lagi kejadian di mana saya ditantang mentalnya. Ketika teman kampus saya mengajak saya untuk jadi relawan psikis dari kampus yang tugasnya untuk menemani, menghibur, intinya membantu pemulihan keadaan psikis dan mental para pengungsi dan korban Merapi. Saya sangat ingin, bahkan saya sangat retweeet 1 juta kali ingin. Tapi saya kemudian berpikir, keadaan di sana masih belum stabil, saya anak perempuan paling kecil di keluarga (agak gak nyambung sih,tp ini agak pengaruh juga), lalu kehilangan fisik bapak menjadi pelajaran berat bagi keluarga saya, pasti kekhawatiran jika saya menjadi relawan malah membuat keluarga saya menjadi harap harap cemas. Lalu saya membalas sms teman saya yang intinya sebenarnya saya ingin tapi saya banyak pertimbangan ini itu. Balasan teman saya adalah “Sarjana kok wedi”. Gosh…ada apa dengan sarjana. Ya saya tau sih maksud teman saya itu adalah untuk membakar semangat saya agar mendaftar menjadi relawan lewat kampus. Tapi tak apa, saya tetap berdiri pada pendirian saya, saya akan membantu sebisa saya untuk mengumpulkan bantuan, tetapi untuk jadi relawan dengan keadaan merapi seperti itu saya tidak cukup punya nyali. Saya masih memikirkan perasaan ibuk saya dan saudara-saudara saya juga, maka saya memilih untuk membantu saja, serta berdoa tentu saja. Fiuh…jadi begini rasanya jadi calon sarjana yang kurang seminggu lagi wisuda…hahaha…pengen saya tertawa getir tapi nanti apa kata orang di rumah saya kalo saya tertawa menyedihkan seperti ini, cukup dalam batin saja (tetep wae raiso le)
Dan, sudahlah, saya mau mengurus ban motor saya yang ternyata bocor lagi, kasian juga lama gak tersentuh tangan saya, maafkan saya ya motor. Padahal kamu sudah baik sekali menemani saya dari SMA kelas 2 sampai sekarang..wow, sudah 6 tahun kurang lebih, hahahaa…unyuuu juga motor saya.
Doa saya semoga semuanya segera membaik, bersahabatlah dengan semua manusia, alam, dan yang utama jangan lupa Tuhan walaupun kamu tidak percaya agama. Cheers.
Nowplaying Sajama Cut-Untitled #4-from their newest album “Manimal”
Comments