Cerita Cinta Teman Perempuan
Sebuah cerita
yang saya ambil dari kisah seseorang di sekitar saya. Menurut saya, ini adalah
kisah cinta yang cukup membuat saya menghela napas dalam dan hebat menurut
versi saya.
Dia
mencintainya. Mencintai laki-laki tersebut dengan segala sesuatu yang awalnya
menjadi pantangan dalam hidupnya. Perbedaan ada di mana-mana. Agama, suku,
latar belakang keluarga (karena suku sih saya rasa, jadi cara menempa hidupnya
juga berbeda). Dia sangat mencintainya. Kata ’walaupun’ sudah sangat menjadi
makanan sehari-harinya. walaupun sepertinya bukan alasan yang bisa membuat
teman saya berhenti mencintai lelaki itu. Saya rasa, lelaki itu sungguh
beruntung, mendapatkan perhatian dan kasih yang tulus tanpa mengharap balasa.
Masih tidak percaya? Apakah teman saya itu mengharap balasan atau tidak?
Sungguh teman
saya yang satu ini tidak mengharapkan apapun. Karena dirinya menyadari bahwa
apa yang dia inginkan itu benar-benar sesuatu yang tidak mungkin untuk
didapatkan. Jelas tidak mendapatkan dukungan dari keluarga dan sosialnya. Teman
saya hanya mencintai lelaki itu dengan terbuka. Ia tahu, bahwa ia melakukan
sesuatu yang sia-sia. Bahwa tidak mungkin dalam kamus keluarganya
memperbolehkan menikah beda agama, berbeda suku (yang dianggap agak mencolok),
apalagi teman saya ini Jawa yang benar-benar Jawa, dan dia mencintai tulus
seorang berdarah Cina.
Teman saya
tidak mengharapkan apapun. Bahkan ketika si lelaki menjalin hubungan dengan
perempuan yang memang lebih lolos ’kriteria’ daripada dirinya. Dia tetap
bahagia. Dia bahagia ketika lelaki itu bisa mendapatkan orang yang baik dan
sesuai kriterianya dan keluarganya.
Teman saya
tidak pernah pamrih. Tidak meminta lelaki ini untuk mencintainya. Tidak pernah
meminta balasan. Dan dia juga tida mengganggu kehidupan lelaki ini secara
ekstrim. Dia jujur kepada lelaki ini bahwa ia mencintainya. Dan ternyata lelaki
ini juga. Tapi keduanya sepakat bahwa ini tidak mungkin disatukan, karena
perbedaan yang terlalu luas. Mereka tidak cukup mampu untuk meruntuhkan pagar
yang membentang di antara mereka (oke, apakah bahasa saya sedikit berlebihan?
Hahaha)
Lelaki ini
pernah jatuh cinta dengan teman saya. Tapi nampaknya ia lebih bisa menjalin dan
memulai hubungan lagi dengan orang lain. Teman saya tidak komplain. Tidak
mengganggu mereka juga. Saya tidak bisa berkomentar apapun kepada teman saya.
Saya mau minta dia move on, itu juga tidak mudah. Tidak mudah mengubah perasaan
seseorang yang sudah begitu lekat kepada orang lain. Saya bisa memahami itu.
Teman saya
tidak mengharapkan apapun. Walaupun sampai detik ini ia masih mencintai lelaki
itu tanpa perubahan kadar sedikitpun, ia tidak merasa harus mendapatkannya.
Lagi-lagi karena perbedaan. Dan saya baru sadar dengan kisah teman saya ini,
bahwa ternyata masih ada yang menganut cinta itu tidak harus memiliki. Walaupun
sebelumnya menurut saya itu hal yang bodoh. Ya kalau cinta itu harus
diperjuangkan. Ternyata beda kasus dengan teman saya ini, yang membuat saya
harus diam dan menyimak bahwa ini benar-benar terjadi. Walaupun menurutnya rasa
cemburu itu pasti datang ketika lelaki itu sedang menjalin hubungan dengan
perempuan lain, tapi yasudah. Mau diapakan, katanya begitu. Dan teman saya itu
bilang bahwa, mungkin suatu saat ketika ia sudah menemukan lelaki yang tepat
untuk temannya menghabiskan sisa hidup, maka dia baru akan bisa menjawab
misteri apakah cinta itu harus memiliki atau tidak. Tetapi sampai detik ini,
pahamnya tetap sama bahwa, cinta itu tidak harus memiliki. Sakit ya? Iya sakit
sekaligus gila dan hebat menurut saya. saya sendiri berpikir bahwa tidak akan
merasa tegar jika saya yang berada di posisi tersebut. Tapi ntahlah, jalan tiap
orang berbeda. Saya harus lewat forbidden, mungkin teman saya harus lewat hutan
dulu baru menemukan danau yang tenang dan nyaman.
Kamu
bagaimana?
Cheers.
Comments