Garis (mana) yang Akan Dipilih
Garis mana yang harus dipilih.
Pertanyaan sebelumnya adalah, apakah kamu atau aku melihat garis itu? Kitab suci, hadist rasul, surat-surat
religius, dan kata ‘orang’, bahwa segala sesuatu sudah digariskan. Tuhan
niscaya menggariskan apa yang terjadi di dunia ini.
Lagi-lagi, saya sendiri harus menemukan garis itu. Terkadang harus memilih
garis yang tidak sekedar lurus. Dan saya tahu bahwa kadang garis itu,
digariskan untuk dan harus dilewati, dirasakan, dan diselesaikan hingga finish.
Tergadang garis itu penuh liku. Terkadang sedikit bergerigi, tajam, bisa jadi
175 derajat seakan berbalik ke arah kita.
Bermain intuisi terkadang tidak selalu tajam. Iya, saya sendiri memang
kurang tajam dalam bermain intuisi. Perasaan atau hati kadang kurang tajam dan
peka terhadap garis di depan saya. Mata saya kurang jeli, apalagi didorong
dengan lensa silinder (hah!). Tetapi bukan mata itu yang saya maksud, apalagi
mata sapi, bisa sih saya bikinin, tapi tunggu 2 menit.
Mata ini kadang melihat, tapi hati ini tidak merasa. Kadang hati ini
bicara, tapi tetap mencoba menutup mata. Terlalu banyak mengambil area ’aman’
yang dirasa ’aman’. Padahal belum tentu. Mencoba mengamankan diri, takut
melewati tikungan atau lengkungan di depan mata. Mungkin itu wajar, buka
excuse, tetapi orang pasti akan mencari sesuatu yang aman, ketimbang harus
menghadapi resiko atau mempertaruhkan sesuatu sehingga memperbesar resiko
negatif terjadi.
Saya termasuk itu. Terkadang masih ambigu, ragu, tidak percaya diri,
walaupun saya selalu mencoba berjalan dengan kepala tegak (soalnya kalau
nunduk, dikira lagi cari duit jatuh, peuuhh!). Tegak juga bukan berarti angkuh
atau sombong. Walaupun kadang muka saya yang dari sana tercetak untuk terlihat
sombong, jutek, dan whatsoever lainnya,(my bad). Pun kepala menunduk bisa
memunculkan beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah hati-hati.
Kemungkinan kedua, sosialnya tinggi. Kemungkinan ketiga, tidak percaya diri,
dan keempat memang dia bener-bener lagi cari duit jatuh, hahahahaa...
Beberapa orang yang saya kenal, baik sudah kenal lama atau masih dalam
hitungan singkat, memberikan penilaian bahwa saya orang yang selalu mencoba
untuk tegar, selalu bisa menghadapi segala sesuatu sendiri tanpa bantuan orang
lain, tetapi juga rapuh. What?! Rapuh? Iya, rapuh. Rapuh itu seperti biskuit
eggroll merk monde yang pada gigitan pertama pasti menghasil remah-remah (trust
me, eggroll monde itu e n a k sekali). Saya terkadang kagum dan sekaligus miris
karena orang lain memang dengan mudah menilai dan menjelaskan plus-minus diri
saya. Kagum karena sebagian besar apa yang teman-teman nilai terhadap saya itu
ada benarnya, sebagian lainnya adalah ngaco. Miris, karena saya sendiri
terkadang masih kurang peka menilai diri saya. sering muncul kalimat ,”masa sih
saya begitu?”.
Oke, kembali ke masalah garis. Si garis kemana sih bikin masalah aja
(SKIP!)
Saya, adalah termasuk manusia yang terkadang masih susah melihat garis yang
digariskan kepada saya. Hampir semua hal. Saya lebih banyak berusaha dengan apa
yang ada di depan mata, dengan semua yang bisa saya keluarkan, go show. Jadi
insidental. Bukan saya tidak punya cita-cita, harapan, atau ambisi, bukan. Tapi
lebih ke menjalani dengan segala resiko baik buruk tentang apa yang akan saya
pilih dan sudah saya pilih. Urusan jodoh, mati, saya tidak pernah tahu. Saya
hanya meyakini bahwa hidup dan mati itu ada dan sedang serta akan terjadi suatu
saat nanti. Begitu juga dengan jodoh, akan datang suatu saat di mana itu benar
dan tepat untuk saya. Kalau garis rejeki, saya yakin semua juga pasti berusaha
dengan gigih mencarinya, tinggal mau cari atau hanya menunggu titisan dewa dewi
untuk menurunkan segepok berlian 24 karat di depan meja makan selama tujuh hari
enam malam. Garis mana yang harus saya pilih? Saya pilih menjalani semuanya
dengan semampunya dan masih dalam garis batas normal. Ketika suatu saat yang di
depan adalah tikungan tajam atau belokan terjal, tetapi ternyata itu adalah
garis saya, saya harus tetap menjalani. Walaupun pasti banyak hal dari A-Z yang
menjadi pemicu saya gentar untuk mengambilnya, at least, saya tidak mau jadi
pecundang penakut yang bakal percuma sudah ikut pramuka 3 tahun sampai
kemana-mana, sampai gak pernah belajar tapi tetap naik kelas, hahahaha...
Well, sudah sering kali, ketika saya menuliskan di sini, banyak hal-hal
yang kurang sinkron dengan tema utama, kebiasaan sih. Kadang melebar sampai
kali belakang rumah, kadang terlalu sempit seperti hidup di Jogja. Tapi, ya,
kalaupun kamu tidak tahu apa yang saya maksud, tidak mengapa, hitung-hitung
kita sodakoh kepada penyedia internet, karena dengan membaca tulisan panjang
lebar saya ini, mereka jadi punya pendapatan, walaupun kamu tidak tahu isi dan
maksud tulisan saya, hahaa.. ya kalau kamu bingung, bisa bertanya, tanya sama
saya boleh, sama pacar atau gebetanmu boleh, tanya sama supir angkot oke, tanya
sama rumput yang bergoyang juga boleh asal kamu gak malu nungging di
taman/lapangan sambil ngomong sama rumput.
Sudah ya, saya mau mencari inspirasi lagi, inspirasi cara agar saya bisa
tidur jam segini karena sudah melewati jam ngantuk waktu setempat. Mau itung
babi, nanti dibilang haram, padahal Cuma ngitung biar ngantuk. Mau ngitung
sapi, jangan lah, saya nanti dikira mau nyolong sapi sama para peternak sapi.
Mungkin saya harus baca buku kuliah, karena biasanya bikin ngantuk, apalagi
klinis...phew.
Selamat mengakhiri halaman ini, cheers.
Comments
hmmm....
menarik ya statement ini. :)
soal memahami dan memilih garis itu, gimana kalo seseorang harus memilih koridor"merasa bisa" atau "bisa merasa" ?
mana yang harus dipilih? atau bisa keduanya tapi dengan kadar dan pilihan waktu tertentu?
wah, pertanyaanmu bagus sekali sampai aku bingung mau jawab apa hahaha... Tapi kalau menurutku akan lebih baik untuk bisa merasa ya. karena jika 'merasa bisa' akan lebih ke congkak, tp dalam situasi tertentu itu bisa jadi hal yang lebih baik untuk dipilih. Bagusnya kalau memang benar2 bisa, jadi gak sekedar 'merasa' aja. Kalau menurutmu gmn? hehe.. anw, thanks commentnya.
Panggil Gesang aja, aku temen seangkatannya Arif pas SMA :D
Yups, setuju sama komenmu, kadang "bisa merasa bisa" juga diperlukan supaya tetep ada motivasi dan syukur
Tengkyu juga yup, Salam buat Arif
:D