Kangen



Hai. Ntah kenapa, hari ini saya begitu kangen dengan sosok yang saya pampang fotonya di sini.
Ganteng (ciye). Keras. Lucu. dan tahukan kamu bahwa mata ini sudah hampir penuh dengan air dan siap untuk ditumpahkan, tetapi situasi yang tidak mengijinkanku untuk melakukannya sekarang. 
16 Juli 2009 itu sudah tiga tahun yang lalu. Tetapi rasanya masih sangat baru. Seperti baru kemarin Bapak kirim sms berisi 'posisi?' kalau saya sampai telat pulang ke rumah. Seperti baru kemarin Bapak marah ke saya karena saya pulang pagi. Sepertinya baru kemarin Bapak dapat rejeki sakit dan tidak bisa bangun dari tempat tidur. Sepertinya baru kemarin Bapak membunyikan lonceng kecil kalau beliau butuh bantuan. Sepertinya baru kemarin Bapak kusuapi nasi abon kesukannya kalau lagi malas makan. Sepertinya baru kemarin Bapak belikan saya buku Psikologi Terapan. Sepertinya baru kemarin Bapak ceng-ceng-in (uhm, godain maksudnya) karena saya cepet dapat pacar setelah putus. Sepertinya baru kemarin Bapak belikan saya sepatu Nike. Sepertinya baru kemarin Bapak kembali makan daging karena alasan kesehatan. Sepertinya baru kemarin Bapak mewajibkan saya lulus dengan segera. Sepertinya baru kemarin Bapak telepon saya nanya kenapa telepon rumah gak ada yang angkat. Sepertinya baru kemarin Bapak dan saya mencoba meditasi di pantai selatan dan cerita kesana-kemari. Sepertinya baru kemarin Bapak ganti handphone berwarna dan berkamera setelah bertahun-tahun gak mau ganti handphone. Sepertinya baru kemarin Bapak minta maaf karena gak bisa datang waktu saya wisuda SMA. Sepertinya baru kemarin Bapak kami antar ke stasiun seperti biasa untuk berangkat ke Jakarta. Sepertinya baru kemarin Bapak pergi untuk selamanya, tanpa bisa kulihat fisiknya lagi. 

 Rasanya masih sulit untuk melepasnya kembali ke rumah Gusti Pangeran yang abadi, berkumpul dengan orang tuanya, saudara, dan sahabat yang sudah dipanggil oleh-Nya. Rasanya masih mengganjal ketika dua kali saya wisuda, SMA dan S1 tanpa ada kehadirannya. Rasanya iri melihat teman-teman lain yang datang dengan kedua orang tuanya. Walaupun saya tahu kalau Bapak hadir di situ, dan melihat anaknya yang rambutnya cepak tanpa sanggul diwisuda. Saya berusaha menerima semuanya. Atas apa yang saya perjuangkan dengan kilat agar Bapak bisa ikut merasakan kebahagiaannya. Saya lulus, mendapat pekerjaan, gak nakal lagi (gak yakin sih kalau ini hahaha) dan bisa membanggakannya, yang berpuluh-puluh tahun kerja di Jakarta untuk mensukseskan anaknya, agar anaknya bisa jadi 'orang'. 
 
Tapi apa mau dikata dan diperbuat. Saya tidak boleh protes terhadap apa yang sudah ditakdirkan dengan keras oleh Gusti Pangeran. Menerima kenyataan bahwa Bapak sudah pergi, dan benar-benar pergi untuk kembali ke Gusti. Sekarang, hanya bisa melihat foto, memutar ulang video selama Bapak hidup, memutar video pemakaman Bapak, membaca buku-buku peninggalannya, memakai jam tangan warisannya, dan memutar memori di otak saya yang ada hubungannya dengan Bapak. Saya tahu bahwa Bapak tahu saya merasa demikian. Saya berharap juga Bapak tahu saya menulis ini. Saya berharap Bapak sekarang berdiri di belakang saya, ikut membaca apa yang sedang saya tulis dan sedikit senyum-senyum karena anak bontotnya mengeluh kangen lagi, hehehe...Semoga suatu saat nanti jika sudah seharusnya kita berkumpul lagi di tempat yang kekal, saya bisa melepas kerinduan ini kepada Bapak, setuju? setuju dong, hehe.. cheers. 

Comments

biar kenangn2 bersama orang-orang yang disayangi menguatkan kita untuk terus melangkah maju
wandan said…
amin. thank you.

Popular posts from this blog

20(13)

Patah

Sapa Rinduku Untukmu