Please Follow (@heart)


Beberapa hari terakhir, saya secara pribadi sedang berada pada puncak kurva diskriminasi personal. Mengapa begitu statistic? Ntahlah, sakit perut saya pagi ini membuat saya jadi mengingat-ingat kuliah statistic 1 dan 2 yang cukup membuat otak saya lelah tapi akhirnya ngerti juga. Oke, bukan masalah statistic yang akan saya tulis di sini. Tapi hati. Jelas bukan hati ayam atau sapi yang tingkat kolestrolnya tinggi, tapi manusia. Hatinya juga bukan hati fisik, tapi ‘hati’
Siapa yang gak punya hati? Kalo ada harap segera close tab blog ini dan menjauhlah dari dunia peradaban manusia. Saya melihat dan mendengar beberapa berita di televisi dan internet beberapa minggu terakhir ini mengenai bencana alam di Indonesia. Rasa-rasanya jadi kelihatan mana yang punya ‘hati’ sungguhan sama yang pasang hati palsu. Uhm…gimana ya? Saya juga gak sampai hati ni mau bilang kejadian secara detail di sini, tapi akan saya coba. (sorry, tulisan saya kali ini random sekali, seperti keadaan perut saya yang acak adul)
Beberapa pejabat pemerintahan secara lugas dan jelas menyatakan bahwa bencana alam di Wasior itu adalah salah mereka sendiri yang tinggal di sana. Hehehe…ini baru namanya ‘lucu’ merucut ke sadis. Gimana bisa disalahkan, ketika penduduk di Indonesia ini jumlahnya makin bertambah dan program KB sepertinya tidak berjalan dengan baik, pantaslah setiap orang mencari kehidupan masing-masing demi kenyamanan dan terpenuhinya kebutuhan hidup mereka, minimal yang primer. Lalu, apakah salah jika ada yang memilih tinggal di Wasior? Ada yang pernah tahu bahwa akan terjadi bencana alam di sana? Tidak. Karena kita semua bukan Tuhan Yang Maha Tahu Segala Sesuatu. Kejadian kedua adalah, salah satu pejabat MPR/DPR yang mengatakan bahwa ia tidak perlulah melihat bencana alam itu langsung dengan matanya, toh masih juga masih ada relawan. Sedih sekali rasanya. Dan itu dikatakan dengan sangat enteng khas pejabat pemerintahan yang songong!!! Yah.. gitu dah. Kadang apa yang kita impikan dan harapkan memang tidak sesuai dengan kenyataan yang ternyata berbalik 180 derajat.
Di mana letak hati nurani para bapak dan ibu yang ada di parlemen dan pemerintahan itu? Ya memang tidak semuanya sih, tapi kenapa kok sampai ada yang seperti itu? Ketika masyarakat Indonesia butuh perhatian materiil ataupun spiritual, tapi dengan alasan studi banding, dengan entengnya diam-diam pergi ke Yunani, Inggris, Italia, dan China. Waw!!! Majas perbandingan yang selalu melekat dalam pikiran rakyat biasa seperti saya kepada mereka. Lucunya lagi adalah, sering kali para aparatur negara dan pejabat pemerintahan lainnya , menyebut masyarakat Indonesia dengan ‘rakyat’. Contohnya begini, “ya itu kan urusan rakyat, kami hanya sekedar bla bla blaaaa” atau juga begini “rakyat itu bisanya hanya menjelek-jelekkan pemerintahan saja”. Uhmmm ntahlah, kok saya merasa mereka itu juga elemen dari rakyat, atau masyarakat, atau penduduk Indonesia juga. Tapi seringkali seakan-akan mereka itu merendahkan nilai kerakyatan. Seolah mereka bukan rakyat Indonesia. Ya itu mungkin hanya sekelumit dari kegelisahan saya sendiri sih, kalo salah yaaaa saya minta maaf, kalo enggak ya syukurlah..haha (isin dewe nulise)
Oke, udah ah…perut saya masih gak mau kompromi dengan baik, saya akhiri dulu. Cheers.

(Now playing Andre Hehanusa – Karna Ku Tahu Engkau Begitu)

Comments

Popular posts from this blog

20(13)

Patah

Sapa Rinduku Untukmu